Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak  terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa  haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang  tidak mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal  Bersama yang tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi  dan persatuan kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin  runyam ketika ada sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi  sikap tersebut dengan berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian  rupa.
Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan  natal dan hari raya agama-agama lainnya?
Haram  Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum  muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir,  apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas:  mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat  perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.  Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh  perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang  berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul  kitab).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr  (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz  4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin  Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di  sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays  menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu  Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ  yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak  menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang  ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu  (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa  besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ  yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
وَإِذَا  مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka  melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak  berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS  al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini  memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika  mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau  terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu  Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak  fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari  raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah  diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “  (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam  Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja,  apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth  al-Mustaqîm, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar  al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan  hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’  al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’  berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya  orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth  al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah  dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau  memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau  naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.  Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh,  baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’  al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah  mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan  menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum  Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir  bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim  al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu  al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim  menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan  kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar,  tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang  yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut  akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara  umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim  al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik  bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak  dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan  penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka.  Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan  tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak  mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’  al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).
Pada masa-masa kejayaan Islam,  pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim  tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik.  Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka  memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
قَدْ  أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى  وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari  itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul  Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang  shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab,  beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang  kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih  dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
لَا  تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ  فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ  عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa  orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di  gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan  turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin  al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ  فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya  mereka.”
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan  diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya.  Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir  di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir,  mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya  orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang  suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan  orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan  Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya  mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
وَالسَّلَامُ  عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan  kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan,  pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”  (QS Maryam [19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang  keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu tidak ada  kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal adalah perayaan  dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad  keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25  Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran  matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa  keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah  sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran  mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
لَقَدْ  كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ  وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي  وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ  عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ  أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:  “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih  (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan  Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,  maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah  neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.”  (QS al-Maidah [5]: 72).
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ  اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ  لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا  مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang  mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal  sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang  Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti  orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.  Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun  kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah  [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang  merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap  yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah  menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar,  Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. Tindakan  tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap  kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
وَلَا  تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ  مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan  janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan  kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang  penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi  pertolongan.” (QS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna  kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang  zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut  al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr  (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan  dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar  kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah,  haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum  kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb.  (Syamsuddin Ramadlan & Rokmat S. Labib).
 
 
 
No comments:
Post a Comment
Apa Komentar Anda?