Boleh dikata, inilah tulisan fenomenal yang pernah aku catatkan.  Ketika aku posting di facebook, ada 300 teman yang suka dan 200-an  komentar, bahkan lebih. Fantastis. Untuk ukuran akun Facebook, bukan  group apalagi page, tentu sangat menakjubkan. Aku bahkan tidak pernah  membayangkan catatan itu akan direspon sedemikian rupa. Selalunya  pembaca berlinang airmata. Ia menjadi kaya makna dengan komentar para  pembaca. Aku pernah dikirimi pesan yang membuat bulu roma-ku merinding.  Berdesir. Berikut isi pesannya,
“Assalamu’alaikum…Subhanalloh…,
Puji syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Besar lagi Maha Bijaksana.
Puji syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Besar lagi Maha Bijaksana.
Terima kasih pak ustadz, telah menandai catatan di fb yang bertuliskan nama saya…,
Mala mini sedang mati lampu…, saya terbangun…lalu saya menyalakan hp  untuk mencari sedikit cahaya…, lalu saya ingin sekali membuka fb…
Ketika saya buka….ada catatan dari fb bernama ibnu…,timbul  kesombongan dari saya. Afwan bapak, saya berkata dengan kesombongan  tingkat tinggi (karena merasa sudah cukup ilmu islam) aghhhh…judulnya  begini, dah bisa kutebak….awalnya saya enggan untuk membacanya…tetapi  saya berpikir; saya harus mendapatkan Ridho-Nya bila ‘main’ fb, maka  saya membaca note dari bapak….,
Dalam suasana gelap…., saya baca…., baca,…baca….dan baca…..,  sampai akhirnya..kesombongan ini luruh..mata inipun tak bisa menahan  tangis…malu pada amal-amal yang telah sia-sia diperbuat…, waktu tak bisa berjalan mundur…bagaimana kalau esok adalah giliran saya….ya Allah, ampuni hamba…., (Terima kasih pak ustadz, saya mohon, pak ustadz selalu kirimi saya note….mohon ya pak).
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa bapak, memasukkan bapak ke dalam  golongan-golongan orang beriman, semoga bapak melewati yaumul hisab  dengan selamat…semoga bapak masuk ke dalam jannah-Nya..amin ya Allah  (Jujur, terharu saya membaca untaian bait doanya….., Amin amin amin ya  Allah, kabulkanlah doa-doa kami).
Afwan ya pak…komentnya panjang….(setelah selesai membaca note dari  bapak..listrik langsung menyala lagi, mungkin inilah cara Allah menegur  kesombongan saya) saya jadi tidak berdaya…., Wassalamu’alaikum.
Berikut catatan yang membuatnya berkomentar seperti di atas :
Acara ini  terinspirasi setelah mengikuti acara, “Life Management Training”  bersama pak Kiseno, yang sedikit banyak merubah kehidupanku; Bagaimana   aku harus menjalani hidup ini dengan baik dan bagaimana pula seharusnya   aku bermuamalah; menjalin hubungan baik dengan Allah dan manusia. Ada   energi spiritual yang menggugah diri ini; sehingga terdetik dalam benak   untuk mengadakan acara serupa kepada anak-anak didikku. Menularkan  ilmu  yang didapat agar lebih bermanfaat.
Acara itu terjadi pada malam jum’at, tepatnya pada 12 Juni 2009   kemarin. Acara itu bertajuk “Malam Pertama.” Acara yang sangat special   karena aku menyiapkan mental dan ruhiyah selama sebulan lamanya, dengan   satu asa; semoga acara berlangsung sempurna dan berkesan bagi mereka.   Dan tepat pada pukul 03.00, aku membangunkan anak-anak untuk bangun dari   tidurnya. Ada perasaan tersendiri ketika itu, semua anak-anak sangat   antusias menyambutnya, tidak seperti biasanya. Semangat mengikuti acara   yang membuat mereka penasaran, karena memang aku tidak memberitahukan   detailnya acara kepada mereka sebelumnya.
Setelah berwudhu, kami shalat malam bersama beberapa raka’at di   lantai bawah masjid. Selesai shalat, aku mengintruksikan mereka untuk   menutup mata dan meminta dengan sangat agar tidak ada yang berbicara,   walaupun sepatah kata. Mereka berbaris memanjang, dengan formasi anak   yang di belakang memegang pundak teman di depannya. Saat itulah, acara   dimulai. Aku pun tak lupa mengajak mereka untuk banyak beristighfar   kepada Allah Ta’ala. Astaghfirullahal ‘Azhim….astaghfirullahal  ‘Azhiim….
Karena mata mereka tertutup, aku memandu mereka dengan berjalan   tertatih-tatih dan derapan kaki yang berat dengan hentakan yang keras   seolah-olah seorang pesakitan yang akan menghadapi siksaan. Hati mereka   tidak karuan mendengarkan suara derapan kakiku yang terdengar keras dan   menyeramkan, apalagi mereka tidak tahu apa yang akan mereka alami.   Ketakutan yang melanda mereka semakin terasa karena didukung dengan   dinginnya kota soreang pada malam itu, dingin menusuk tulang. Kata   mereka, acara malam itu terasa sangat menegangangkan, menakutkan,   mengharukan sekaligus menyedihkan…, karena itulah acara pertama mereka   yang bertajuk malam pertama.
Setelah tiba di lokasi yang dimaksud, aku memandu mereka satu per   satu untuk menempati tempat duduk yang tersedia; persis di depan kertas   Hvs dan lilin yang sudah disiapkan panitia untuk masing-masing anak   dengan keadaan mata mereka masih tertutup. Setelah duduk dengan tenang,   aku masih mengingatkan mereka banyak beristighfar. Aku pun memulai   berorasi,
 “Wahai saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai…. Suatu   ketika, Yani diajak oleh ayahnya untuk mengunjungi wilayah pemakaman   umum kaum muslimin di kota metropolitan, Jakarta. Mereka berputar   sejenak dan kemudian mendapatkan makam yang dicari. Mereka duduk di   depan seonggok nisan, “Hj. Muthia binti Muhammad, Lahir : 19 Januari   1915, Meninggal : 20 Januari 1965.” 
Ayah Yani berkata, “Nak, ini adalah kuburan nenekmu, mari kita   berdoa untuk kebaikan nenekmu.” Yani melihat wajah ayahnya, lalu   menirukan tangan ayahnya menengadah ke atas dan memejamkan matanya   seperti halnya ayahnya. Ia mendengarkan doa ayahnya untuk neneknya. 
Selesai berdoa, Yani bertanya, “Yah, nenek waktu meninggal  berumur  50 tahun ya Yah ?” Ayahnya mengangguk sambil tersenyum sembari   memandang pusara ibunya, Hj. Muthia.
“Hm, berarti nenek sudah meninggal 44 tahun yang lalu ya, Yah ?”   kata Yani berlagak dengan menghitung dengan jarinya, “Ya, nenekmu sudah   di dalam kubur selama 44 tahun…”jawab ayahnya
Yani memutar otaknya, memandang sekeliling, banyak kuburan di   sana, di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut, “Muhammad   Zaini, Lahir : 19 Februari 1804, Meninggal : 30 Januari 1910.” 
“Hmm, kalau begitu, yang itu sudah meninggal 109 tahun yang lalu   ya Yah ?” jarinya menunjuk nisan di di samping kuburan neneknya. Sekali   lagi ayahnya mengangguk, tangannya terangkat mengelus kepala anaknya   satu-satunya sembari menatap teduh mata anaknya dan berkata, “Memangnya   kenapa nak ?”
“Hmm, ayah semalam bilang bahwa kalau kita mati, lalu dikubur dan   kita banyak dosanya, kita akan disiksa. Dan ditempatkan pada parit  dari  parit-parit neraka. Begitu sebaliknya, kalau amal shalih kita  banyak,  kita akan mendapatkan kenikmatan dan tinggal di sebuah taman  dari  taman-taman jannah.  Iya kan Yah ?” Yani meminta persetujuan  ayahnya. 
Ayahnya tersenyum dan bertanya, “Lalu ?” “Ya…kalau nenek banyak   dosanya, berarti nenek sudah disiksa selama 44 tahun dong yah di kubur ?   tetapi kalo nenek banyak amal shalihnya berarti sudah 44 tahun pula   berada di taman dari taman-taman jannah….ya nggak Yah ?” mata Yani   berbinar karena bisa mengemukakan pendapatnya kepada ayahnya.
Ayahnya tersenyum, namun sekilas keningnya Nampak berkerut,   tampaknya cemas, “Iya nak, kamu memang pintar.” Kata ayahnya pendek.
Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah. Setelah pulang,   di atas sajadahnya, ayahnya merenungi perkataan anaknya. Lalu ia   menunduk dan meneteskan air mata, kalau ia yang meninggal, lalu banyak   dosanya, lalu kiamat masih 100 tahun lagi, masih 200 tahun lagi atau   mungkin masih 300 tahun lagi ? sanggupkah ia selama itu menanggung   derita di dalam kubur. Bukankah setelah bangkit dari kubur, siksa yang   lebih dahsyat sudah menanti. Ayah yani tertunduk dan berdoa   berulang-ulang, “Allahumma inni as’alukal ‘Afiyah fid dunya wal   akhiroh.” Ya Allah, aku memohon kepada-Mu  keselamatan dan kebaikan, di   dunia dan akherat.  
Setelah membacakan kisah tersebut, aku memerintahkan mentor untuk   menyalakan lilin dan memerintahkan anak-anak membuka mata. Mereka kaget   dan terperanjat ketika melihat lembaran putih yang bergambar nisan   lengkap dengan nama mereka, nama ayah mereka dan tempat tanggal lahir   mereka. Di tengah kekagetan mereka itulah, aku melanjutkan,
 “Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai….sekarang   bayangkanlah kalau seandainya pada malam hari ini kita lah yang meningal   dunia. Menjadi mayit. Berada di alam kubur yang demikian pekat, gelap   dan mengerikan. Tidak ada yang berani menemani kita, walau ia adalah   orang yang terdekat sekalipun. Sendiri dan sepi.
Saudara-saudaraku yang aku sayangi…apakah kita lupa atau  pura-pura  lupa dengan kenyataan yang akan kita temui nanti, yaitu  kematian.  Siapakah yang bisa memastikan bahwa kita akan hidup berumur  panjang.  Padahal bisa jadi setelah malam ini, kita tidak bertemu dengan  waktu  pagi, tidak bertemu dengan ibu kita, tidak bertemu dengan ayah  kita,  tidak bertemu dengan kerabat-kerabat kita dan tidak bertemu  dengan  teman-teman dan orang-orang yang kita cinta. 
Ikhwani fillah….suatu ketika khalifah Harun Ar-Rasyid pergi   berburu. Kemudian beliau bertemu dengan buhlul. Khalifah berkata, “Wahai   Buhlul, berilah aku nasehat.”
Buhlul bertanya“Wahai Harun, di manakah kubur ayah, kakek dan  nenek moyangmu ?.”
 “Di sana.” Jawab Harun singkat. 
Buhlul bertanya “Lantas, di manakah istanamu ?” 
“Di sana.” Jawab Harun. 
Buhlul berkata, “Wahai Harun, engkau mengatakan kuburan ayah,   kakek dan nenek moyangmu berada di sana sedang istanamu berada di sana.   Tidakkah anda tahu, anda akan meninggalkan istana itu dan berpindah   menuju kubur yang gelap gulita dan sendirian tanpa anak, istri dan harta   yang selama ini kamu kumpulkan ? kamu akan berpindah dari istanamu  yang  menjulang tinggi nan megah menuju kuburan yang sempit.” 
Kemudian Harun menangis dan menderita sakit. Hingga ketika sudah   merasa ajalnya dekat, Harun mengumpulkan anak, istri dan para pengawal   serta tentara istana sembari berkata, “Wahai Dzat yang tidak akan   kehilangan kekuasaannya, kasihilah orang yang akan kehilangan   kekuasaannya ini.” Lalu Harun meninggal dunia. 
Ikhwani fillah…apakah kita mengira bahwa umur kita masih panjang   dan menyangsikan datangnya malaikat maut yang siap menjemput kita. Tamu   yang datang tanpa diundang. Bila waktunya tiba, ia akan melaksanakan   titah Tuhannya, Allah Ta’ala tanpa memajukan dan tanpa memundurkan   barang satu detikpun. 
Maka, bayangkanlah seolah-olah kita sedang berada di kuburan dan   merenungi nasib apa yang akan antum dapatkan di sana. Berada di salah   satu taman dari taman-taman surga atau parit dari parit-parit neraka. 
Setelah waktu merenung usai, aku memerintahkan mereka untuk membalik   lembar nisan yang berisi pertanyaan-pertanyaan muhasabah. Dan   memerintahkan mereka mengisinya. Di sela-sela mereka mengerjakan, aku   mengingatkan mereka sesuai dengan urutan pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama, “Amal apa yang sudah antum lakukan ?”
Aku melanjutkan,
“Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai..…
Sekarang mari kita merenung, amalan apakah yang sudah kita   persiapkan untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala ? sudahkah kita   siap untuk menghadap-Nya. Mari kita juga merenung, amalan apakah yang   sudah kita lakukan sesuai dengan keinginan dan perintah Allah dan   Rosul-Nya ? apakah amal shalih kita sudah kita iringi dengan perasaan   khauf ( rasa takut), raja’ (rasa berharap) dan mahabbah (rasa cinta) ?   adakah kita berani menjamin diri kita terlepas dari siksa Allah Ta’ala?   Apakah kita sudah melupakan dosa-dosa kita. Dosa mata kita, dosa tangan   kita, dosa kaki kita, dosa lisan kita, dan bahkan dosa hati kita ?  
Tak terasa, ada beberapa ikhwah yang meneteskan air mata dan berusaha   menyembunyikan sesenggukan isak tangisnya. Keheningan malam itu   dipecahkan dengan suara isak tangis yang tertahan. Kita bisa memaklmi   bila kita membaca jawaban mereka,
“Saya tidak tahu amal  kebaikan apa yang telah saya lakukan. Yang  jelas, begitu sedikit amal  kebaikan yang aku lakukan sedang dosa saya  sangat banyak.” 
“Selama  ini mungkin amal yang saya lakukan sangat sedikit, bahkan  tidak ada  apa-apanya bila dibandingkan dosa-dosa yang telah saya  lakukan. Mungkin  amal saya belum cukup untuk menebus semua dosa-dosa  yang telah aku  lakukan.” Astaghfirullahal ‘Azhim…..
Pertanyaan kedua, “Apa pesan antum kepada orang-orang yang antum  cintai, ayah, ibu dan teman-teman antum ?”
Aku melanjutkan,
Ikhwani fillah….sekarang hadirkanlah bayangan orang-orang yang   kita cintai, ibu dan ayah antum. Bayangkanlah wajah ibu dan ayah antum.   Hadirkanlah kenangan-kenangan indah bersama mereka. Mari kita sejenak   mengingat jasa-jasa mereka. Mengingat masa ketika kita masih dalam   kandungan. Lupakah kita tentang berat tubuh kita yang dipikul oleh ibu   kita ? selama kurang lebih Sembilan bulan 10 hari lamanya, ibu   senantiasa membawa kita kemanapun beliau pergi. Dan Allah menyebut   kesusahan yang dialami ibu kita saat mengandung dengan bahasa wahnan  ‘ala wahnin, kesusahahan di atas kesusahan, kesulitan di atas  kesulitan, kepayahan di atas kepayahan, yang bertambah-tambah. Memang   demikian adanya. Ingatkah kita ketika di malam hari kita menangis,  lalu  ibu kita terbangun untuk menenangkan dan menidurkan kita lagi  setelah  selesai menunaikan hajat kita. Ingatkah kita ketika kita makan  dan  disuapi oleh ibu kita. Ketika kita mandi dan kita meraung-raung  karena  tidak ingin mandi.  Ingatkah juga ketika ibu kita mengajari  kita,  “A…Ba…Ta…Tsa…” dengan kesabaran yang sangat tinggi. Ingatkah kita  bahwa  tatkala kita sedang sakit,  ibu lah orang yang paling gundah dan   gelisah. 
Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai….
Sekarang, bayangkanlah wajah ayah kita. Tidakkah kita memahami   bahwa hitamnya warna kulitnya dan berkeriputnya wajahnya adalah karena   pengorbanannya yang tidak kenal lelah dalam mencari nafkah untuk   kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan kita. Itu semua dilakukan demi   kita, anaknya. Orang tua kita ingin agar kita lebih pintar, lebih tiggi   jenjang sekolahnya, lebih arif, lebih bahagia, lebih banyak mendapatkan   ilmu-ilmu agama dan lebih bijaksana dalam memecahkan problem kehidupan   yang akan kita dapatkan dan lebih bijaksana dalam mengambil sebuah   keputusan. Itulah ayah kita. Ia curahkan semua pengorbanannya kepada   kita. Sekalipun sakit, ia tetap bekerja dan tidak memperdulikan rasa   sakitnya asal kita mendapatkan kecukupan hidup. Semuanya demi kita ya   ikhwati…,
Dan bayangkan juga teman-teman kita di mana mereka juga ikut  andil  dalam merubah pribadi kita menjadi pribadi yang indah.  Teman-teman kita  juga memiliki peran besar dalam melatih tanggungjawab,  kebersamaan dan  rasa persaudaraan. Adakah kita melupakannya ?
Tak terasa, ada yang tidak kuasa menahan tangis yang semenjak tadi   ditahannya. Suasana semakin menampakkan keharuan. Malam yang tadi terasa   hening menjadi bergemuruh dengan isak tangis anak-anak didikku.   Keharuan yang juga membuat bulu kudukku merinding. Mengenangkan   masa-masa kecil adalah pengalaman tak terlupakan. Betapa banyak jasa   ayah-ibu dan teman-teman. Bernostalgia dengan orang yang paling kita   cinta; ibu dan ayah akan memantik emosional kita sehingga seolah kita   tersadarkan dan diingatkan oleh jasa-jasa mereka; di samping juga   mengingatkan betapa seringnya kita melukai perasaan mereka padahal kita   belum pernah membahagiakaannya. Kita bisa memahami gejolak emosi dan   perasaan mereka dengan melihat jawaban-jawaban mereka;
“Ayah, maafkan  atas apa yang telah aku lakukan pada ayah.  Selama ini, aku sering  sekali menyakitimu, aku sering membantah, aku  sering marah-marah.  Maafkan atas semua perbuatanku selama ini, maafkan  aku ayah….., Aku  juga minta maaf pada ibu jika aku tidak berterima kasih  atas apa yang  ibu berikan, maafkan aku ibu jika aku selalu menjadi  beban  bagimu…maafkan aku ibu….jika aku selalu menyakitimu…Teman-teman,   maafkan aku karena aku sering menyakitimu. Mungkin aku ini orang yang   tidak mau berterima kasih pada teman-teman. Maafkan aku…”
Jawaban serupa yang mereka tulis, “Ibu,  engkau wanita mulia, ingin  sekali anakmu ini memelukmu dan menciummu.  Berjuanglah, doakanlah aku  ibu agar aku menjadi anak yang  sholeh-sholehah supaya kita bisa  berkumpul kembali di akherat nanti.  Semoga pengorbananmu dibalas oleh  Allah dengan jannah dan dosa-dosamu  diampuni. Terima kasih ibu….terima  kasih atas semua pengorbananmu.  Terima kasih ibu….,
Pertanyaan ketiga : Sudahkan kita membalas jasa kedua orang tua kita,  minimal dengan banyak mendoaan mereka ?
Pertayaan keempat : Sudahkah kita banyak beristighfar kepada Allah  atas dosa-dosa kita ?”
Pertanyaan kelima : Siapakah yang akan mendoakan kita ketika kita  sudah meninggal dunia ?”
Aku melanjutkan,
 Saudara-saudaraku yang aku sayangi…..
Kalau kita sudah mengenang kenangan-kenangan indah bersama ayah   dan ibu kita dan pengorbanan mereka yang tidak kenal lelah. Mari kita   merenung sejenak, sudahkah kita membalas jasa-jasa mereka, minimal   adalah dengan banyak berdoa ?
Ikhwani fillah….Mari kita banyak melantunkan doa yang dituntunkan   oleh Rosululloh untuk kedua orang tua kita, -dengan suara terbata-bata   saya memandu mereka untuk berdoa; 
رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا
رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا 
”Duhai Allah, ya Allah, ya Tuhanku….ampunilah aku dan kedua orang   tuaku. Dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mendidikku sewaktu aku   kecil.”
”Ya  Allah, ya Tuhanku….ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan   kasihilah mereka sebagaimana mereka mendidikku sewaktu aku kecil.”  
Acara ini terpaksa berhenti sampai di sini lantaran waktu shalat   shubuh sudah mendekati. Terasa spesial mengerjakan shalat shubuh setelah   acara itu usai.
Ada tulisan indah dari salah seorang anak didikku yang menuliskan sebuah pesan dan kesan yang akan selalu ku kenang, “Sangat menjunjung tinggi rasa cinta kepada orang tua lebih terasa ikatan hati, saat engkau tunjukkan kepada kami sesuatu yang mungkin, sebelumnya kami belum pernah mendapatkannya.”
Tahukah kita betapa mereka sangat terkesan dengan acara yang membuat   mereka menitikkan air mata ini. Inilah sekelumit komentar yang saya   dapatkan dari mereka,
Pesan :
Pesan untuk ustadz, ustadz jangan melupakan ana dan teman-teman. Coz, ustadz akan selalu terkenang dalam memori harian ana karena ustadz itu terlalu BAIK….BAIK…..banget. oh ya ustadz, doain ana ya kalau nanti ana sudah meninggal dunia. Supaya bisa masuk jannah. Dan ana akan mendoakan ustadz agar dosa-dosa ustadz diampuni bila nanti sudah meninggal dan masuk jannah. Supaya ustadz, ana, teman-teman atau mungkin anak dan cucu ustadz nanti berkumpul di jannah.
Aku sangat terharu setiap kali membaca kata demi kata dalam tulisan berisi doa di atas. Allah….Allah…..Amin ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami.
Kesan : 
Acara kemarin seru banget. Selain seru, acaranya juga menegangkan, menakutkan dan menyedihkan. Dengan di adakannya acara kemarin, ana bisa menyadari kalau selama ini amal yang ana lakukan tidak ada apa-apanya, bahkan ana sendiri tidak tahu amal apa yang bisa ana banggakan, justru malah dosa dan maksiat yang sering ana lakukan. Mudah-mudahan setelah acara kemarin, ana bisa lebih berhati-hati dalam mengerjakan segala sesuatu.
Bagi ana, itu adalah suatu pengalaman yang menakjubkan sampai-sampai ana meneteskan air mata. Sekarang Insya’ Allah ana mengerti bagaimana harus bersikap pada orang tua dan orang-orang yang pernah saya kenal. Karena saya sadar hidup tak kan selamanya saya jalani. TERIMA KASIH ustadz, mungkin bisa jadi tulisan ini, pertemuan ini, yang terakhir untuk ustadz dengan ana dan bisa jadi kita tak kan pernah bertemu lagi ! Good luck untuk ustadz….acaranya seru dan mengharukan.
Ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan, bila sebuah pengalaman   berkesan bagi kita maka ia juga akan berkesan bagi orang lain. Terus   terang, jawaban saya sama dengan jawaban mereka tatkala mengikuti   kegiatan serupa.  
Bahkan, setelah acara itu, selalunya saya merasa malu. Malu dengan   diri saya sendiri. Dan tatkala hati ini keras membantu, mengingat   kenangan malam itu adalah salah satu cara memperbarui iman dan   menghadirkan kembali semangat mengisi hidup dengan kebaikan dan ketaan.  
اللهم لاتؤاخذني بما يقولون واجعلني خيرا مما يظنون  
Akhi….ukhti…..
Selalunya kita mengidentikkan malam pertama sebagai malam kebahagiaan   bersama suami atau istri tercinta. Memang begitulah kenyataannya.  Namun  kita juga harus jujur; jujur kepada Allah dan diri kita sendiri.   Bagaimana reaksi kita bila ternyata malam itu berubah menjelma menjadi   malam pertama di dalam liang kubur yang gelap, pekat, sempit dan   menyeramkan. Sendirian. Tiada kawan, tiada teman.
Tempat yang membuat Rosululloh melinangkan air matanya tatkala   melihat ada seseorang yang dikuburkan; dengan berpesan kepada umatnya   tercinta, “Li mitsli hadza, falya’malil ‘amilun….menghadapi hari seperti  inilah, hendaknya seseorang beramal.”
Tempat yang juga membuat Utsman bin Affan berhenti sejenak sembari   membayangkan apa yang terjadi dalam kubur; antara nikmat dan siksa,   hingga beliau menangis dan berkata, “Aku pernah mendengar Rosululloh saw   bersabda, “Kubur adalah salah satu taman dari taman-taman jannah, atau   parit dari parit-parit neraka.”
Tempat yang juga membuat Harun Ar-Rasyid jatuh sakit hingga   menyebabkan kematiannya. Dan tatkala ajalnya sudah hampir tiba, ia   berkata, “Ya man la yazulu mulkuhu, irham man zala mulkuhu…Duhai dzat  yang kekuasaannya tidak akan pernah hilang, kasihilah hamba yang akan  kehilangan kekuasaanya.”
Tempat yang juga dijadikan rehat oleh salah seorang salaf tatkala ia   mendapati kekerasan hatinya. Ia menggali lubang di dalam rumahnya.   Tatkala tengah malam tiba, ia bangun dan tidur di pekuburan buatannya   sembari berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwa, apa yang engkau   inginkan sekarang? Aku ingin kembali ke dunia. Aku ingin banyak beramal   shaleh” ia pun bangkit dan tumbuh semangat imannya.
Begitulah generasi terbaik umat ini membangkitkan spirit imannya.   Terkadang satu kuburan lebih dahsyat dan berkesan dalam jiwa dari ribuan   materi pelajaran yang didapatkan. Adakah kita memungkiri kenyataan   bahwa kita akan melewatinya ? tetangga, saudara, kerabat dan orang-orang   yang kita cinta pergi satu per satu meninggalkan kita namun kita lupa   atau pura-pura terhadap kenyataan yang pasti akan kita temui nanti.
Sudah siapkah kita kalau pada saat ini; pagi, siang atau malam ini kita melalui malam pertama di kubur kita ?? Allahumma inna nas’alukal ‘afiyah, fid dunya wal akhirah….
Kegiatan ini diuji cobakan kepada anak-anak YUPPI, soreang pada 12   Juni 2009. Jumlah peserta sekitar 13 orang, dengan nama; akhi andi, akhi  gilang, akhi iqbal, akhi hamzah, akhi gin-gin, dan lain-lain. Beribu  terima kasih ku ucapkan kepada mereka. Aku merindukan kalian ya  ikhwani…..,
Semoga bermanfaat,
Ibnu Abdul Bari el Afifi.
 
 
 
No comments:
Post a Comment
Apa Komentar Anda?