Penulis: Ummu Aufa
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih
Saudariku, kita telah diperingatkan
“Jika  kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah  diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan  kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfaal: 73)
Bencana demi  bencana datang silih berganti menyapa kita. Mulai dari banjir yang  menerjang beberapa kota, kecelakaan transportasi darat, laut sampai  udara dan beberapa musibah lain, seperti angin puting beliung, gempa dan  tanah longsor, belum lagi musibah karena penyakit Demam berdarah,  diare, busung lapar dsb. Astaghfirullah, hati manusia mana yang  acuh melihat keadaan seperti itu?! Deraian airmata atau isak tangis  entah karena kehilangan sanak saudara atau kehilangan harta benda atau  karena penyakit yang sedang diderita. Dan keadaan seperti itu sangatlah  berat jika dirasakan khususnya bagi wanita yang mempunyai beberapa  peran, wanita sebagai ibu atau sebagai istri. Wanita yang mempunyai hati  selembut kapas, penuh simpati, mudah terbawa suasana, dan mudah pula  rapuh hatinya.
Siapa yang tak kenal hati wanita?! Wanita adalah  sesosok manusia yang dianugerahi dengan perasaan yang halus.  Selembut-lembutnya hati seorang laki-laki masih lembut hati seorang  wanita yang paling tegar sekalipun. Betapa hatinya bagaikan gelas-gelas  kaca, sekali pecah hancur sampai berkeping-keping. Perasaan seperti itu  sangat rentan terhadap kekecewaan dan kesedihan. Biasanya wanita  mengekspresikan perasaan tersebut dengan menangis, entah menangis secara  sembunyi-sembunyi ataupun menangis secara berlebihan, yaitu dengan  menampak-nampakkan kepada setiap orang untuk menunjukkan betapa sedihnya  ia. Namun jika tangisan tersebut berlebihan hingga mengeraskan suara  dan seakan-akan menunjukkan kekecewaan atas Qadha’ dan Qadhar Allah  Subhanu Wata’alla ini yang tidak boleh, Allah menguji manusia dengan  batas kemampuan masing-masing manusia:
“Allah tidak  membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)
“Dari  Abu Musa, Abdullah bin Qais radhiyallahu’ anhu bahwa Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari wanita yang meratap  ketika ditimpa musibah, mencukur rambut dan merobek-robek saku baju.”
 Menangislah sewajarnya jika memang dengan menangis hati kita lebih  lega, karena menangis adalah ciri seorang wanita. Menangis tidak  selamanya termasuk bagian orang yang lemah dan tidak tegar, misalnya  para shahabat seperti umar bin khaththab radhiyallahu’ anhu pernah menangis jika mengingat keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala,  sehingga menempatkan waktu yang sesuai untuk menangis itu yang terbaik.  Musibah silih berganti, laksana bergantinya siang dan malam, hati yang  kuatlah yang diperlukan untuk menepis kesedihan-kesedihan yang melanda.  Dan hati yang kuat hanya ada bersama dengan iman yang kuat, rasa pasrah  terhadap segala takdir-Nya.
Saudariku, mungkin diantara kita  saat ini ada yang sedang mengalami musibah tersebut, mungkin keluarga  kita atau handai taulan kita. Maka jadilah orang yang kuat dan dapat  menguatkan orang di sekitar kita, serahkanlah kepada Allah Subhanahu wa  Ta’ala serta katakanlah “Innalillahi  wa inna ilahi roji’un” “sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.”  Hal tersebut akan lebih baik untuk kita lakukan, dan telah dicontohkan  oleh para salaf ketika mereka ditimpa musibah.
Dan janganlah  menangis berlebihan bahkan hingga disertai menyakiti diri sendiri  seperti memukul-mukul pipi sendiri atau mengatakan kata-kata yang kasar  yang menunjukan rasa tidak suka dan tidak sabar atas musibah dan cobaan  tersebut atau malah menyalah-nyalahkan kehendak Allah Subhanahu wa  Ta’ala. Bahkan ada yang keterlaluan sampai mengakhiri hidupnya (bunuh  diri), ia meyakini dapat menyudahi kesempitan yang sedang dialaminya di  dunia akan tetapi sebenarnya malah membuka kesempitan yang lain yang  justru ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah itu, laksana beralih  dari pasir yang panas ke dalam bara api.
Na’udzubillahi min dzalik.  Mereka berpikir bahwa kematian dapat mengakhiri apa yang mereka tidak  sukai, menghindar dari masalah, dan bersikap sebagaimana pengecut. Namun  sebenarnya ia akan dihadapkan masalah yang lebih berat dan ia takkan  mungkin bisa bunuh diri lagi untuk melarikan diri.
Ternyata pikiran sempit mereka dapat menyulitkan mereka sendiri bahkan kesulitan yang paling sulit.
Dari  Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’ anhu dari Rasulullah shalallahu  ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang  yang menampari pipi, merobek-robek saku dan berseru-seru dengan seruan  jahiliyyah.” (Muttafaqun ilaihi)
Saudariku disetiap  perjalanan hidup kita tak lekang dari musibah dan cobaan, baik dengan  kehilangan orang yang kita sayangi, kehilangan harta yang telah kita  kumpulkan, atau penyakit yang telah kita derita. Sebagai mukmin yang  cerdas hendaknya kita mengambil kesempatan untuk meraup pahala dari  setiap kesulitan yang sedang kita hadapi. Dan hendaknya kita bisa  memetik hikmah disetiap musibah dan cobaan. Wallohu  a’lam bishowab.
 
 
 
No comments:
Post a Comment
Apa Komentar Anda?