Menggapai Derajat Takwa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai  orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana  diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.  Al Baqarah: 183). Ayat ini menunjukkan bahwa di antara hikmah puasa  adalah agar seorang hamba dapat menggapai derajat takwa dan puasa adalah  sebab meraih derajat yang mulia ini. Hal ini dikarenakan dalam puasa,  seseorang akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi setiap  larangan-Nya. Inilah pengertian takwa. Bentuk takwa dalam puasa dapat  kita lihat dalam berbagai hal berikut.
Pertama,  orang yang berpuasa akan meninggalkan setiap yang Allah larang ketika  itu yaitu dia meninggalkan makan, minum, berjima’ dengan istri dan  sebagainya yang sebenarnya hati sangat condong dan ingin melakukannya.  Ini semua dilakukan dalam rangka taqorrub atau mendekatkan diri pada Allah dan meraih pahala dari-Nya. Inilah bentuk takwa.
Kedua,  orang yang berpuasa sebenarnya mampu untuk melakukan  kesenangan-kesenangan duniawi yang ada. Namun dia mengetahui bahwa Allah  selalu mengawasi diri-Nya. Ini juga salah bentuk takwa yaitu merasa  selalu diawasi oleh Allah.
Ketiga,  ketika berpuasa, setiap orang akan semangat melakukan amalan-amalan  ketaatan. Dan ketaatan merupakan jalan untuk menggapai takwa. (Periksa Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 86, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H)
Hikmah di Balik Meninggalkan Syahwat dan Kesenangan Dunia
Di dalam berpuasa, setiap muslim  diperintahkan untuk meninggalkan berbagai syahwat, makanan dan minuman.  Itu semua dilakukan karena Allah. Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku” (HR. Muslim no. 1151). Di antara hikmah meninggalkan syahwat dan kesenangan dunia ketika berpuasa adalah:
Pertama,  dapat mengendalikan jiwa. Rasa kenyang karena banyak makan dan minum,  kepuasan ketika  berhubungan dengan istri, itu semua biasanya akan  membuat seseorang lupa diri, kufur terhadap nikmat, dan menjadi lalai.  Sehingga dengan berpuasa, jiwa pun akan lebih dikendalikan.
Kedua,  hati akan menjadi sibuk memikirkan hal-hal baik dan sibuk mengingat  Allah. Apabila seseorang terlalu tersibukkan dengan kesenangan duniawi  dan terbuai dengan makanan yang dia lahap, hati pun akan menjadi lalai  dari memikirkan hal-hal yang baik dan lalai dari mengingat Allah. Oleh  karena itu, apabila hati tidak tersibukkan dengan kesenangan duniawi,  juga tidak disibukkan dengan makan dan minum ketika berpuasa, hati pun  akan bercahaya, akan semakin lembut, hati pun tidak mengeras dan akan  semakin mudah untuk tafakkur (merenung) serta berdzikir pada Allah.
Ketiga,  dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, orang yang  berkecukupan akan semakin tahu bahwa dirinya telah diberikan nikmat  begitu banyak dibanding orang-orang fakir, miskin dan yatim piatu yang  sering merasakan rasa lapar. Dalam rangka mensyukuri nikmat ini,  orang-orang kaya  pun gemar berbagi dengan mereka yang tidak mampu.
Keempat, dengan berpuasa akan mempersempit jalannya darah. Sedangkan setan berada pada jalan darahnya manusia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia pada tempat mengalirnya darah.” (HR. Bukhari no. 7171 dan Muslim no. 2174). Jadi puasa dapat  menenangkan setan yang seringkali memberikan was-was. Puasa pun dapat  menekan syahwat dan rasa marah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan puasa sebagai salah satu obat mujarab bagi orang yang  memiliki keinginan untuk menikah namun belum kesampaian. (Disarikan dari  Latho’if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 276-277, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, 1428 H).
Mulai Beranjak Menjadi Lebih Baik
Di bulan Ramadhan tentu saja setiap  muslim harus menjauhi berbagai macam maksiat agar puasanya tidak  sia-sia, juga agar tidak mendapatkan lapar dan dahaga saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya)
Puasa menjadi sia-sia seperti ini disebabkan bulan Ramadhan masih diisi pula  dengan berbagai maksiat. Padahal dalam berpuasa seharusnya setiap orang  berusaha menjaga lisannya dari rasani orang lain (baca: ghibah), dari  berbagai perkaataan maksiat, dari perkataan dusta, perbuatan maksiat dan  hal-hal yang sia-sia.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta  malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus  yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903) Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa  bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah  dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada  seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya,  “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih) Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah. (Perkataan Al Akhfasy, Fathul Bari, 3/346, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah) Sedangkan rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita (Perkataan Al Azhari, Syarh Muslim, 5/13, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah) atau dapat pula bermakna kata-kata kotor. (Syarh Muslim, 4/151)
Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Seandainya  kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu  turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu  menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu.  Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama  saja.”
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya  menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus jalan.  Hendaknya ketika berpuasa, setiap orang berusaha pula menahan anggota  badan lainnya dari berbuat maksiat dan hal-hal yang sia-sia. Ibnu Rajab  mengatakan, “Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya  meninggalkan minum dan makan saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277)
Oleh karena itu, ketika keluar bulan  Ramadhan seharusnya setiap insan menjadi lebih baik dibanding dengan  bulan sebelumnya karena dia sudah ditempa di madrasah Ramadhan untuk  meninggalkan berbagai macam maksiat. Orang yang dulu malas-malasan shalat  5 waktu, seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar  bulan Ramadhan. Juga dalam masalah shalat Jama’ah bagi kaum pria,  hendaklah pula dapat dirutinkan dilakukan di masjid sebagaimana rajin  dilakukan ketika bulan Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak  wanita muslimah yang berusaha menggunakan jilbab yang menutup diri  dengan sempurna, maka di luar bulan Ramadhan seharusnya hal ini tetap  dijaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani  dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)  Para ulama  seringkali mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah  (rajin ibadah, -pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Penutup
Inilah beberapa hikmah  syar’i yang luar biasa di balik puasa Ramadhan. Oleh karena itu, para  salaf sangatlah merindukan bertemu dengan bulan Ramadhan agar memperoleh  hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Sebagian ulama mengatakan, “Para  salaf biasa berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar dapat berjumpa  dengan bulan Ramadhan. Dan 6 bulan sisanya mereka berdoa agar  amalan-amalan mereka diterima”. (Latho-if Al Ma’arif, 369)
Adapun hikmah puasa yang biasa sering  dibicarakan sebagian kalangan bahwa puasa dapat menyehatkan badan  (seperti dapat menurunkan bobot tubuh, mengurangi resiko stroke,  menurunkan tekanan darah, dan mengurangi resiko diabetes -lihat  http://swaramuslim.net), maka itu semua adalah hikmah ikutan saja  dan  bukan hikmah utama. Sehingga hendaklah seseorang meniatkan puasanya  untuk mendapatkan hikmah syar’i terlebih dahulu dan janganlah dia  berpuasa hanya untuk mengharapkan nikmat sehat semata. Karena jika niat  puasanya hanya untuk mencapai kenikmatan dan kemaslahan duniawi, maka  pahala melimpah di sisi Allah akan sirna walaupun dia akan mendapatkan  nikmat dunia atau nikmat sehat yang dia cari-cari.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20) Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang  melakukan amalan puasa, amalan shalat atau amalan shalat malam namun  hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan  memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan  sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari  keuntungan dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang  merugi”.” (Periksa Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/311, Dar Thoyibah, cetakan kedua 1420 H)
Sehingga yang benar, puasa harus  dilakukan dengan niat ikhlas untuk mengharap wajah Allah. Sedangkan  nikmat kesehatan, itu hanyalah hikmah ikutan saja dari melakukan puasa,  dan bukan tujuan utama yang dicari-cari. Jika seseorang berniat ikhlas  dalam puasanya, niscaya nikmat dunia akan datang dengan sendirinya tanpa  dia cari-cari. Ingatlah selalu nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Barangsiapa  yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan  kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai  berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa  yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan  dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya,  dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Adapun hadits yang mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” Perlu diketahui bahwa hadits semacam ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) menurut ulama pakar hadits. (Al Hafzih Al ‘Iroqiy dalam Takhrij Al Ihya’ (3/75)  mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al  Awsath, Abu Nu’aim dalam Ath Thib An Nabawiy dari hadits Abu Hurairah  dengan sanad yang lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Hadits Adh Dho’ifah (1/420) mengatakan bahwa hadits ini dho’if)
Semoga Allah menerima setiap amalan kita  di bulan Ramadhan dan menjadikan kita insan yang lebih baik dari  bulan-bulan sebelumnya. Semoga Allah memberikan kita petunjuk,  ketakwaan, sikap menjauhkan diri dari hal-hal haram dan memberikan kita  kecukupan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]
Sumber : http://buletin.muslim.or.id/
 
 
 
No comments:
Post a Comment
Apa Komentar Anda?